Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina: Persektif Filologi dan Semiotik) | Nurhayati Rahman | La Galigo Press | Desember 2006 | 979-15492-0-6
Karya La Galigo merupakan satu-satunya dokumen tertulis yang dimiliki orang Bugis jauh sebelum Islam datang ke Sulawesi Selatan. Karena itu, La Galigo merupakan bukti peninggalan kebudayaan orang Bugis yang paling tua dan lama, mendahului peradaban Islam di Sulawesi Selatan. Mattulada memperkirakan sekitar abad ke-7 - 9 M, Fachruddin menyebut abad ke-13 M, dan Pelras abad ke-14 M.
Di dalamnya menggambarkan kepercayaan lama orang Bugis yang mengisahkan tentang kehidupan para dewa-dewi di langit dan di bawah laut. Perkawinan dewa di langit dan dewi di bawah laut itu yang melahirkan bumi, tempat manusia beranak pinak, yang sekarang dikenal sebagai manusia Bugis. Hampir semua episode La Galigo diwarnai oleh kehidupan dan kejayaan di laut.
Tokoh utama epos ini, Sawerigading, hidup bergelimang cinta. Tokoh utama yang eksentrik dan kontroversial dalam La Galigo ini merupakan generasi ketiga dari pasangan dewa di Boting Langiq (kerajaan langit) dan dewi di Buri Liu (kerajaan bawah laut). Ketika lahir, Sawerigading kembar emas dengan seorang perempuan cantik yang bernama We Tenriabeng. Dikhawatirkan akan saling jatuh cinta bila kelak dewasa, maka ia pun dipisahkan oleh dewan adat sejak kecil.
Namun apa daya, sekali waktu, ketika telah sama-sama dewasa, tanpa sengaja dalam sebuah pesta di istana ia bertemu dan saling pandang dengan adiknya. Sawerigading tak bisa mengendalikan diri dalam memandang kecantikan sang putri, tak kuasa menolak cinta yang tiba-tiba menyeruak masuk dalam kehidupannya, tak kuasa menolak apa kata hatinya, tak peduli larangan dan pantangan adat, tak peduli dengan sanksi adat yang akan menimpanya. Itulah awal petaka yang mengawali kisah yang diceritakan dalam buku ini.[]
Komentar
Posting Komentar