Batara Gowa: Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar


Mukhlis PaEni, Edward L. Poelinggomang, dan Ina Mirawati | ANRI - UGM Press | September, 2002 | 979-420-514-1

Salah satu tragedi yang amat menyakitkan hati orang-orang Makassar khususnya Kerajaan Gowa dengan koalisi-koalisinya adalah kekalahannya dalam Perang Makassar yang kemudian berakhir dengan Perjanjian Bungaya 18 November 1667.

Sejak saat itu, orang-orang Makassar tak henti-hentinya mengobarkan perlawanan dalam berbagai bentuk hingga pada akhirnya Belanda menyebut daerah Makassar sebagai "Pulau Keonaran (onrust elland)". Gerakan demi gerakan, pemberontakan demi pemberontakan dan kerusuhan demi kerusuhan yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan hal-hal yang menyertainya seperti keresahan sosial, mobilitas sosial, dan pertikaian untuk melakukan social control terhadap jalannya pemerintahan.

Kata 'Batara' di kalangan orang Makassar dan Bugis mengandung pengertian "Tuhan" atau "Dewa" Maha Pencipta yang melindungi, memelihara, dan memberkati hidup dan kehidupan manusia, bila titalatur ini memiliki sifat-sifat ketuhanan dan kedewaan. Untuk menciptakan "tokoh Batara" dilakukan perkawinan politik "lintas darat" dan "lintas laut" hingga munculnya tokoh yang memperkenalkan diri sebagai Batara pada tahun 1776, yang dikenal dengan Batara Gowa I Sangkilang.

Ideologi Bataraisme merupakan sebuah gerakan messianik yang memberi janji akan kedatangan tokoh penyelamat yang akan mendatangkan kemakmuran, mengembalikan harga diri, dengan berlakunya kembali tatanan hidup menurut adat kebiasaan dan kebesaran Makassar. Mereka menyebtunya dengan Lammatemi adaka ri biasana, kembalinya tatanan adat kebiasaan luhur seperti sediakala. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan mobilisasi dalam bentuk gerakan-gerakan sosial di Makassar dan perlawanan terhadap Belanda. Para pengikut Batara Gowa I Sangkilang sampai saat ini masih dipercaya akan datangnya Batara Gowa yang memberikan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi negeri.[]

Komentar