Petambak Garam Indonesia


Anwar Jimpe Rachman (penyunting) | Penerbit Ininnawa | 2011

Kamis 16 November 2006, puluhan petambak dan buruh garam di Desa Santing, Indramayu, membuang sekitar 500kg garam ke aspal jalur Pantura. Mereka protes karena garam impor menjatuhkan harga garam mereka. Kejadian ini seakan menjadi ikon dari sekian banyak protes yang dilakukan petambak garam rakyat di Indonesia.

Kebijakan pemerintah meminta petambak garam Indonesia menghasilkan garam bermutu, dengan sedikit jaminan harga, kekacauan tataniaga, dan tanpa ketersediaan lahan yang memadai. Distributor dan pabrik pengolahan garam berskala kecil mengalami hal serupa. Hasilnya, harga jarang menguntungkan, mutu sulit meningkat, dan di atas segalanya, produsen dan distributor garam nasional berskala kecil tidak semakin sejahtera.

Penelitian ini, dengan melakukan perbandingan di dua kawasan sentra garam yakni Jeneponto (Sulawesi Selatan) dan Madura (Jawa Timur), menunjukkan bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah gagal mengangkat kesejahteraan para pelaku komoditas garam nasional. Mutu dan produktivitas pun jalan di tempat. Tak pelak, di tengah kealpaan subsidi dan proteksi pemerintah, ‘industri-industri bayi’ garam dalam negeri lumpuh di hadapan raksasa dari Australia, pengekspor garam terbesar ke Indonesia. Dalam kondisi ini, kebijakan terbaru Kementrian Kelautan dan perikanan yang mendahulukan swasembada garam ketimbang kesejahteraan para pelaku kecil industri garam nasional, bisa menambah soal baru.

Komentar